Banyak yang menyebut jika Hariyanto Arbi merupakan titisan dari Liem Swie King. Bagaimana tidak, keduanya memiliki senjata pamungkas berupa smash loncat dan sama-sama keras. Hanya saja bedanya, Liem Swie King mengambil sikap mundur beberapa jarak baru loncat sementara Hariyanto Arbi, langsung meloncat tanpa harus mundur.
Hariyanto terlahir dari keluarga bulutangkis. Dua orang kakaknya merupakan pemain bulutangkis handal. Sebut saja Hastomo Arbi dan Eddy Hartono, dua nama yang menjadi inspirasinya dalam bermain bulutangkis. Bakatnya memang sudah tercium sejak kecil.
Ia pun dilirik untuk menjadi salah satu pemain yang turun dalam kejuaraan Invitasi Dunia Yunior. Gagal di tahun 1988 tidak membuatnya patah semangat. Ia mencoba kembali di tahun berikutnya. Pada tahun 1989, gelar tunggal putra pun berhasil ia raih. Pemain yang biasa akrab dipanggil dengan Hari ini menang di partai puncak dari pemain Tiongkok Zheng Yi dengan skor 15-4, 15-7. Moncernya prestasi Hari, membuat ia didaulat masuk menjadi bagian keluarga Pelatnas.
Prestasi Hari di kelas senior mulai meningkat. Smash 100 watt, yang menjadi julukannya banyak memakan korban. Tiga gelar juara di tahun 1993 menjadi cikal bakal dirinya menjadi pemain tunggal putra nomor satu dunia. Di tahun ini, Hari mencetak juara di kejuaraan Taipei Masters, Japan Open, dan gelar bergengsi All England.
Hari sukses mempertahankan gelar All England untuk kedua kalinya pada tahun 1994. Selain gelar dari All England, Hari membukukan gelar lainnya di tahun 1994. Gelar itu datang dari Taipei Open, Piala Dunia, Hongkong Open, dan Kopenhagen Masters. Di tahun ini pula Hari mampu mempersembahkan sekeping medali emas untuk kontingen Indonesia yang berlaga di ajang Asian Games. Hari juga menjadi bagian tim Indonesia yang berhasil merebut Piala Thomas.
Nama Hari tercatat sebagai pemain yang mampu merebut gelar di kejuaraan dunia. Lausanne, Swiss menjadi tempat yang berkesan bagi Hari. Di sinilah ia berhasil mencetak gelar juara dunia tunggal putra pada tahun 1995. Gelar yang juga menjadi incaran setiap pemain mana pun. Tak hanya gelar dari Kejuaraan Dunia, Hari juga membawa pulang gelar di tahun 1995 dari kejuaraan Korea Open, Japan Open, dan Hongkong Open.
Bermain menyerang seperti yang dilakukan Hari memang beresiko dengan cedera. Ini yang ia alami pada saat final piala Thomas pada tahun 1996 saat Indonesia berhadapan dengan Denmark. Hari yang dipercaya turun sebagai partai ketiga harus menahan sakit yang luar biasa saat bertemu dengan salah satu musuh bebuyutannya, Thomas Stuer Lauridsen. Tetapi hebatnya, ia terus bertanding dan menjadi penentu kemenangan Indonesia atas Denmark.
Prestasi Hari yang mulai merosot membuatnya hanya bisa mencetak gelar di India Open pada tahun 1997, lalu merebut medali emas Sea Games di tahun 1998 dan menutup karirnya di bulutangkis sebagai pemegang gelar juara Singapura Open 1999. (AR)