Berkarier lintas negara bagi pelatih merupakan hal yang lumrah terjadi di beberapa cabang olahraga, termasuk bulutangkis. Keahlian dan rekam jejak yang menjanjikan, membuat banyak pelatih diminta untuk menangani atlet bulutangkis di luar negeri. Namun hal tersebut bukanlah tanpa tantangan, sebab ada perbedaan budaya dan bahasa yang harus dihadapi saat merantau ke luar negeri.
Lalu bagaimana para pelatih bulutangkis internasional beradaptasi dengan perbedaan bahasa?
PB Djarum berbincang dengan empat pelatih yang pernah berkarier lintas negara dan mencoba mengulik trik mereka dalam belajar bahasa asing. Berikut cerita selengkapnya:
Imam Tohari
Pelatih tunggal putra PB Djarum ini pernah melatih di Jepang selama satu dekade sejak tahun 2002. Imam Tohari sukses memoles atlet muda Jepang, bahkan menjadi penemu bakat Kento Momota, pemain nomor satu Negeri Sakura.
Saat memutuskan untuk berkarier di Jepang, Imam mengaku belum bisa bahasa Jepang. Untuk itu, ia pun aktif belajar secara otodidak atau mandiri. Selain itu, Imam juga banyak menonton televisi dan ikut langsung mengobrol dengan warga lokal di sana.
“Pertama ke Jepang belum bisa bahasanya sama sekali, jadi belajar sendiri. Dulu belum banyak aplikasi belajar seperti sekarang. Belajarnya dari nonton TV, terus mendengarkan orang Jepang ngomong. Mau nggak mau kita dipaksa dengan keadaan yang menuntut kita harus bisa ngomong bahasa Jepang. Karena itu, jadi kita ada kemauan untuk belajar,” kata Imam kepada PBDjarum.org.
Kebanyakan atlet Jepang, menurut Imam, tak banyak paham bahasa Inggris. Hal tersebut membuatnya harus lebih aktif dalam berkomunikasi dengan bahasa Jepang.
“Intinya semua atlet pengen dan ada kemauan untuk belajar bahasa Inggris. Tapi kalau untuk disuruh ngomong memang agak susah. Jadi kita yang harus lebih aktif,” sambung Imam.
Rexy Mainaky
Kiprah pelatih asal Indonesia, Rexy Mainaky, jelas tak perlu diragukan lagi. Selain Indonesia, peraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996 ini pernah menangani tim nasional bulutangkis di Inggris, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Kerap berpindah negara, Rexy tak menampik adanya kendala dalam berkomunikasi. Namun Rexy terus berusaha agar masukan dan arahannya bisa diterima dengan baik oleh anak didiknya.
“Pastinya ada kendala. Kadang-kadang kalau saya menyampaikan pakai bahasa Inggris, saya harus memastikan lagi ke mereka sudah paham semua atau belum. Kalau belum, ditambahkan dengan body language-lah. Atau kami harus mempraktikan sendiri supaya mereka mengerti. Bahasa Thailand itu sangat susah kaya bahasa Mandarin. Beda nada, bisa jadi beda arti. Saya pernah dikasih tahu sama mereka, ‘Coach kalau ngomong ini jangan begitu caranya, nanti artinya lain. Itu artinya jadi jorok,’ hahahaha,” cerita Rexy saat melatih di Thailand.
“Akhirnya saya biasanya ngomong dulu sama pelatih-pelatih sampai mereka jelas. Selama ini saya harus pelan-pelan, kalau saya lihat mereka bingung, saya ambil white board, baru saya gambar lapangan. Jelaskan begini dan begitu. Minimal saya tahu kata-katanya sedikit,” ujar Rexy.
Jeremy Gan
Jeremy Gan merupakan pelatih asal Malaysia yang kini melatih di Jepang. Sama halnya dengan Imam dan Rexy, Jeremy juga menghadapi kendala berbahasa. Untuk mengatasinya Jeremy mengatakan sempat ikut kursus bahasa Jepang.
“Waktu awal saya tidak terlalu memikirkan kesulitan bahasa, karena dalam bulutangkis itu ada namanya bahasa bulutangkis. Jadi ada beberapa kata yang tidak perlu translate, mereka sudah mengerti,” kata Jeremy saat diwawancarai oleh PBDjarum.org.
“Saya ikut kelas kursus bahasa tapi tidak terlalu lama, baru setelah itu mulai mengerti sedikit jadi saya coba buat langsung mempraktikkannya. Kalau ada yang tidak paham, saya langsung tanya ke mereka lagi, apa maksudnya. Saya belajar sedikit bahasa Jepang dan pemain Jepang juga mengerti sedikit bahasa Inggris yang simpel. Jadi nggak terlalu sulit untuk berkomunikasi,” lanjut Jeremy.
Yang terpenting bagi Jeremy, mereka bisa mengerti satu sama lain secara umum. Jika akan menjelaskan hal yang lebih detail, Jeremy bertumpu pada bantuan translator-nya.
“Fase dalam latihan menjadi sangat penting. Saat latihan saya beri arahan dan mereka bisa langsung bertanya kalau tidak paham. Ketika kami sudah saling paham saat latihan, maka saat pertandingan menjadi lebih mudah,” kata Jeremy.
Lebih lanjut Jeremy mengatakan bahwa kemampuan bahasa asing sangat menunjang kariernya di dunia bulutangkis internasional. Ia berharap para pelatih lain bisa terus aktif belajar bahasa asing demi menangkap peluang melatih lintas negara.
“Penting untuk bisa belajar beberapa bahasa asing. Seperti saat saya ke Jepang, akan lebih baik kalau saya bisa bahasa Jepang. Saya mencoba semaksimal saya. Yang pasti kita perlu belajar lebih dan mengerti lebih banyak bahasa asing. Walaupun tentu itu tidak mudah. Yang penting kita bisa saling berkomunikasi,” jelas Jeremy.
Wong Tat Meng
Pelatih asal Malaysia, Wong Tat Meng, kini menjadi pelatih tunggal putri Korea, An Se Young. Tiga tahun bersama Badminton Korea Association, Tat Meng mengaku memiliki trik khusus dalam belajar bahasa Korea.
“Saya belajar pakai aplikasi, gampang kalau sekarang. Kalau betul-betul mau berbicara sangat deep, baru saya panggil translator saya. So far so good, tidak banyak problem khusus,” kata Tat Meng.
Meski begitu, Tat Meng mengaku bahasa Korea cukup sulit untuk dipelajari. “Sangat susah sebenarnya untuk belajar bahasa Korea. Saya umur sudah 50 tahun lebih. Saya belajar berbicara saja, karena itu sudah sulit buat saya. Saya tidak belajar membaca atau menulis, hanya belajar berbicara sedikit-sedikit,” ungkap Tat Meng kepada PBDjarum.org.
“Saya dengan An Se Yong pakai bahasa Inggris, tapi saya campur sedikit dengan bahasa Korea. Kalau berbicara soal pertandingan atau di lapangan, saya bisa bahasa Korea sedikit, tapi dicampur juga dengan Inggris. Dan An Se Yong bisa mengerti bahasa Inggris. Sepertinya kalau anak muda Korea sekarang sudah banyak yang mengerti bahasa Inggris, walaupun untuk bicara masih susah,” jelasnya lagi.
Meski kesulitan dalam belajar bahasa Korea, Tat Meng tak meminta An Se Young secara khusus untuk memahami bahasa ibu Tat Meng.
“Saya nggak meminta mereka untuk bisa bahasa saya Mandarin atau Melayu. Mereka main badminton saja sudah susah, saya nggak mau membebani mereka untuk belajar bahasa lagi. Itu terserah mereka saja. Yang penting kami bisa berkomunikasi,” ujar Tat Meng. (NAF)