
Bulan Februari lalu, perbulutangkisan Indonesia dipenuhi dengan pemain-pemain impor yang meramaikan Djarum Superliga Bulutangkis Indonesia 2011, seperti Lee Chong Wei (Malaysia), Yip Pui Yin (Hongkong), Cheng Wen Hsing (Taipei), dan Nguyen Tien Minh (Vietnam). Sebelumnya pada Djarum Superliga tahun 2007, publik bulutangkis Indonesia kedatangan pemain-pemain top sekelas Cheng Hong dan Wang Cheng. Tidak hanya di Indonesia, China pun memanggil pemain-pemain berkualitas seperti Taufik Hidayat, Lee Chong Wei dan pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan untuk meramaikan liga mereka tahun ini.
Sementara, beberapa tahun belakangan kita banyak mendengar berita mengenai putra-putri Indonesia yang diundang bermain maupun melatih di luar negeri dan berhasil meningkatkan persaingan bulutangkis di negara asingnya. Sebutlah Rexy Mainaky di Malaysia, Atik Jauhari di India, Tony Gunawan di Amerika Serikat, maupun Asep Suharno di Vietnam. Namun ternyata Indonesia tidak lagi berfungsi sekedar sebagai pengekspor, namun sekarang pun mulai ikut mengimpor. Inilah bulutangkis dunia yang tidak lagi memandang batas negara.
Jika dibandingkan dengan bulutangkis di masa silam, kita melihat bahwa bulutangkis telah mengalami evolusi. Pada masa lalu, batas negara begitu terasa. Semua negara memakai materi lokal dan rasa patriotisme begitu kuat seakan-akan menjadi kebutuhan utama para atlet. Namun sejak meningkatnya persaingan di dalam negeri terutama di negara-negara adidaya bulutangkis seperti Indonesia, China, dan Malaysia, maka secara alami terjadilah “ekspor” pemain maupun pelatih yang ingin lebih mengembangkan potensi bulutangkisnya di area persaingan yang lebih “leluasa.”
Di Indonesia sendiri, tahun ini kental dengan hal tersebut. Jika sebelumnya Indonesia terkenal sebagai pengekspor talenta bulutangkis, sekarang Indonesia pun mulai mengimpor. Awal Januari lalu kita kedatangan pelatih tunggal putra Pelatnas baru, Li Mao, kelahiran China yang sebelumnya melatih tim nasional Korea Selatan.
Tentu saja Indonesia tidak sendirian. Negara lain juga mengalami hal yang sama. Yao Jie di Perancis dan Xu Huaiwen di Jerman adalah segelintir dari banyak pemain putri China yang “terbang” setelah merasa terhimpit di persaingan putri lokal China. Beberapa kelahiran Malaysia pun sekarang berkarir di luar negeri seperti bersaudara Raj dan Renuga Veeran yang sekarang bermain untuk Australia, selain tentu saja Wong Tat Meng yang akan terbang ke Indonesia sebagai pelatih.
“Distribusi” ini membuat persaingan bulutangkis yang sebelumnya eksklusif dimiliki oleh segelintir negara menjadi meluas. Singapura, India, Taipei, Belanda, dan Amerika Serikat mulai mencuat sebagai negara yang meramaikan persaingan papan atas bulutangkis dunia dalam dekade terakhir. Iklim persaingan yang semakin meninggi dan melebar tersebut dipertajam pula dengan hadiah turnamen yang semakin menggiurkan sehingga garis batas antar negara pun semakin tipis dengan “pinjam-meminjam” atlet dan/atau bendera maupun partisipasi di turnamen-turnamen yang berlokasi di daerah non-adidaya bulutangkis. Bulutangkis pun berubah dari olahraga nasionalisme menjadi olahraga karir.
Kini, sudah tidak aneh lagi bila melihat pemain dan/atau pelatih bulutangkis asing. Nyaris hilang isu tentang patriotisme, karena semakin lama masyarakat pun mulai dapat menerima bahwa atlet dan pelatih hidup dari karir olahraganya, dan karenanya patut dimaklumi jika terkadang mereka harus meniti karir dan mendulang rejeki di tanah asing.
Merenungkan hal ini, saya pun tersenyum. Nampaknya keinginan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) untuk mengglobalkan bulutangkis tercapai sudah setelah perjuangan sekitar satu dekade. Saat ini, bendera-bendera yang berkibar di turnamen BWF sudah lebih beragam dan turnamen internasional pun lebih tersebar merata di peta dunia. Bulutangkis saat ini sudah mengglobal, tanpa melihat batas negara dan kewarganegaraan. Para atlet pun sudah tidak semata dimiliki oleh negara kelahirannya, tetapi dimiliki oleh seluruh dunia.
Pertanyaannya sekarang adalah, mampukah Indonesia memetik faedah dari perubahan yang terjadi, dan bukannya menjadikan hal tersebut buah simalakama? (DC)