Audisi Umum 2016 di Solo, yang memperebutkan bea siswa bulutangkis Djarum, akan berakhir Senin sore ini (11/04). Salah satu legenda dari tim pencari bakat, Antonius Budi Arianto menilai Audisi ini merupakan ruang bagi atlet daerah terutama dari Solo untuk bergabung di klub PB Djarum.
“Saya dulu harus mencari informasi kemana-mana untuk mengetahui cara bergabung dengan klub PB Djarum. Saat ini sangat dimudahkan dengan adanya kegiatan Audisi,” tutur Antonius yang merupakan mantan pemain dan pelatih PB Djarum.
Antonius juga menilai bahwa audisi umum ini merupakan salah satu cara membantu pemerintah memasalkan olahraga bulutangkis.
Mengenal Antonius
Antonius Budi Arianto, lahir di Pekalongan, 3 Oktober 1971 dari pasangan Jhony Eka Rianto dan Rosa Kristinahandayani. Perkenalan Antonius kecil dengan bulutangkis, berawal dari melihat ayahnya yang suka olahraga terutama bulutangkis. Ia yang saat itu baru berumur 9 tahun, sering diajak main oleh ayahnya.
Dari mulai hanya main-main biasa, ia malah semakin keranjingan permaianan tepok bulu ini. Lalu, Antonius masuk klub Hayam Muruk di Pekalongan. Ia mulai mengukir prestasi diajang Porseni dari tingkat keresidenan, kota madya sampai mewakili Provinsi Jawa Tengah di tingkat nasional tahun 1983. Bahkan di tingkat nasional, ia meraih runner up nomor ganda berpasangan dengan adiknya Hermawan Susanto yang bernama Ade Susanto.
Ia merasa latihan di daerah kurang maksimal. Ia sempat mencoba latihan di PB Djarum Kudus, lalu mengikuti tes di klub Pangeran Puspita Jakarta dan bergabung selama 1 bulan, sebelum memutuskan pindah ke Jaya Raya Jakarta. Tahun 1989, ia mencoba peruntungan masuk klub PB Djarum khusus ganda. Di pelatihan ganda yang baru dibentuk oleh Christian Hadinata tersebut, Antonius termasuk angkatan pertama. Setelah bergabung di PB Djarum sebagai pemain ganda, ia mulai menorehkan prestasi. Berbagai gelar juara level yunior nasional, berhasil ia raih.
Tahun 1991, seharusnya ia ikut ajang Seleksi Nasional, untuk menentukan pemain yang berhak masuk Pelatnas. Namun ia menderita sakit yang cukup berat dan diharuskan operasi total serta istirahat latihan lebih dari 1 bulan. Nasib baik berpihak kepadanya, walaupun tidak ikut seleksi, ia tetap dipanggil ke Pelatnas.
“Saya gak nyangka dipanggil. Saya mengetahui dari koran Kompas. Ternyata hasil berbagai pertandingan saya yang meraih banyak gelar juara, menjadi pertimbangan untuk masuk Pelatnas,” kenang Antonius.
Bergabung dengan Pelatnas, bukan berarti perjuangan selesai tetapi muali dari awal lagi. Saat itu Pelatnas sedang mempersiapan pemain ke Olimpiade Barcelona 1992. Ia hanya sebagai pemain sparring saja. Selama dua tahun tidak pernah berangkat ke luar negeri.
“Saya harus bersabar dan terus mengikuti latihan bersama tim yang akan berangkat ke Barcelona. Saya sudah mengorbankan sekolah dan jauh dari keluarga, jadi harus mampu memotivasi diri. Bulutangkis sudah menjadi pilihan hidup maka harus maksimal walaupun belum terpilih sebagai pemain utama,” ungkap Antonius.
Penantian panjang tidak ia sia-siakan. Kesempatan keluar negeri pertama bersama pasangannya Denny Kantono, langsung dijawab dengan gelar juara. Ia memenangkan Polish Open 1993 dan France Open 1993 sekaligus. Disinilah awal karir internasionalnya, sehingga ia dan pasangan mulai dipercaya. Apalagi setelah itu ia diberi kesempatan ikut Kejuaraan Dunia dan lolos ke perempat final dengan permainan yang baik.
Ia terus berlatih dengan keras, karena ia tidak mau mengecewakan pelatihnya Christian Hadinata. Ia pun ditargetkan meraih tiket ke Olimpiade 1996. Deretan gelar juara berhasil ia raih seperti Denmark Open 1994, Thailand Open 1994, Taipei Open 1995. Tahun 1996, ia meraih medali perunggu di Olimpiade dan menjuarai Indonesia Open. Berbagai prestasi dan gelar juara sempat mengantarkannya menempati peringkat 1 ganda putra dunia.
“Pengalaman paling berkesan antara lain ketika juara World Cup 1996, walaupun bukan kejuaraan dunia resmi tapi semua pemain peringkat atas dunia ikut serta. Pengalaman berkesan lainnya adalah menjadi runner up All England 1995, saat itu kalah rubber game dari Ricky/Rexy di final,” ujarnya.
Ia juga menjadi salah satu andalan Indonesia diajang beregu Thomas Cup. Indonesia selalu juara dalam keikutsertaannya di Thomas Cup 1996 hingga 2000.
Tahun 2001, ia keluar dari Pelatnas. Sebenarnya ia masih ingin bermain secara profesional tetapi terkendala peraturan sponsor tunggal. Saat itu, ia berumur 30 tahun dan merasa masih mampu bahkan banyak yuniornya di Pelatnas masih belum bisa menang darinya. Akhirnya, ia kembali ke klub PB Djarum dan menjadi pelatih.
“Saya berhutang budi kepada PB Djarum karena saat saya masih belum punya prestasi apa-apa, klub membiayai pengobatan saya sampai tuntas. Bahkan biaya operasi di Rumah Sakit yang mahal, seluruhnya ditanggung klub. Ini waktunya beri kontribusi ke PB Djarum, meskipun banyak tawaran dari luar negeri seperti tawaran melatih tim Malaysia Yunior dengan gaji yang lebih besar,” tambah Antonius.
Sebagai pelatih klub, ia menyiapkan generasi baru bulutangkis Indonesia. Praveen Jordan, juara All England 2016, merupakan salah satu pemain yang pernah ia latih. Beberapa atlet potensi juga sedang ia siapkan seperti Ribka Sugiarto, Fadia , Agatha Imanuella dan Febriana Dwipuji Kusuma. Beberapa tahun mendatang Indonesia akan menikmati hasil tangan dingin Antonius sebagai pelatih. (Hendri.K)