
Tidak sulit mencari wartawan yang bernama lengkap Putra Permata Tegar Idaman atau yang biasa akrab dipanggil dengan Ega. Ia memiliki tubuh yang tinggi jika dibandingkan ukuran rata-rata orang Indonesia. Ia juga memiliki ciri khas yang jarang dimiliki oleh wartawan-wartawan lain. Rambut panjang malah cenderung kribo menjadi mahkota pria yang kini bertugas di salah satu media nasional ini. Ia tidak merasa risih dengan rambutnya yang dulu pernah gimbal. Baginya, rambut yang ada dikepalanya saat ini merupakan kontrol diri.
“Misalnya kalo saya ngambil mangga tetangga, pasti lebih gampang diapalin karena rambut kribo,” ujarnya seraya tertawa.
Menjadi wartawan baginya bukan suatu kebetulan. Ia tumbuh dan berkembang pada keluarga yang akrab dengan dunia olahraga. Sang ayahlah yang berperan besar mengenalkan dirinya dengan bermacam tontonan olahraga. Siaran olahraga seperti sepakbola, tinju dan bulu tangkis menjadi santapan baginya. Sampai ia begitu terkesan dengan tayangan Piala dunia sepak bola serta Piala Thomas dan Uber tahun 1994.
“Jaman dulu, nonton badminton bareng-bareng di ruang keluarga itu hangat dan menyenangkan,” kenangnya.
Dari hal-hal inilah tercetus cita-cita untuk bisa menjadi wartawan olahraga.
“Saya membayangkan betapa nikmatnya menonton pertandingan olah raga dan hal itu dianggap kerja,” sambungnya.
Iapun lalu memilih kuliah jurusan jurnalistiik untuk mewujudkan impiannya. Lulus kuliah ia sangat berharap agar bisa menjadi wartawan olahraga. Akhirnya, mimpi menjadi kenyataan. Pertama kali ia terjun sebagai wartawan pada sebuah harian khusus olah raga. Ia langsung membidani “Desk Olimpic” alias olahraga non sepakbola yang salah satunya adalah bulu tangkis. Ia pun lantas meluaskan wawasannya dengan terjun mencari berita-berita seputar bulu tangkis, termasuk saat pertama kalinya ia masuk ke dalam lingkungan Pelatnas.
“Sebagai wartawan baru, pasti demam panggung, karena wartawan bakal disambut dengan lapangan yang luas dan banyaknya bintang-bintang bulutangkis yang hilir mudik kesana kemari,” lanjutnya
Ia tidak menampik jika bepergian keliling dunia merupakan berkah dari pekerjaanya sebagai wartawan. Ia juga pernah menjadi saksi betapa sedihnya saat pasukan merah putih menyerah pada Denmark di babak final perebutan piala Thomas 2016.
“Ikut sedih, kecewa. Tapi kalo wartawan walau kecewa harus tetap buat berita,” katanya.
Dari berbagai liputan yang pernah dijalani, ada satu hal yang tidak pernah bisa dilupakannya. Kisahnya berawal ketika ia hendak pergi ke kota Semarang. Ia dan rombongannya sempat tertahan di pintu pemeriksaan karena ia gagal melewati Security Check. Dua kali ia harus bolak balik melewati pintu metal detector. Padahal waktu itu ia dan rombongan sudah dipanggil untuk segera masuk kedalam pesawat.
“Saya sudah jelaskan kalo sepatu yang saya pakai bagian depannya ada besi. Kayanya petugasnya ga percaya,” tuturnya.
Walhasil iapun harus melepas sepatu agar bisa lolos dari pemeriksaan. Terbukti, usai melepaskan sepatu, iapun bisa melewati pemeriksaan. Buntut lamanya pemeriksaan, ia dan rombongan harus berlari mengejar kendaraan yang mengantarnya menuju pesawat.
“Pesawatnya pindah gate,” lanjutnya.
Tanpa sempat mengenakan sepatu, iapun buru-buru masuk kedalam pesawat sambil menenteng sepatu miliknya. Ada satu impian yang belum terwujud dalam karirnya sebagai wartawan. Ia sangat ingin meliput Olimpiade.
“Pengen banget liput Olimpiade,” pungkasnya.
