Inspiring Story
Home > Berita > Inspiring Story > Dari Anak Manja ke Juara Bermental Baja
10 Oktober 2014
Dari Anak Manja ke Juara Bermental Baja
 
 

Tidak ada lagi segelas susu hangat di pagi hari yang biasanya disiapkan oleh Mama tercinta. Liliyana kecil yang saat itu baru berusia 12 tahun harus terpisah jauh dari kedua orangtuanya untuk mewujudkan mimpi menjadi atlet bulutangkis.

Keluarga Liliyana begitu mencintai bulutangkis. Tiada waktu senggang yang tidak dihabiskan untuk menonton pertandingan bulutangkis di televisi atau bermain bulutangkis bersama di halaman rumah. Fungsi net yang digantikan dengan seutas tali rafia pun tidak mengurangi keasyikan mereka bermain. Calista, sang kakak pun selalu bersemangat bermain bersama Liliyana. Seperti anak bungsu kebanyakan, Liliyana kecil sangat manja.

Meskipun manja, Liliyana kecil ternyata senang berolahraga. Semakin hari, kecintaan Liliyana terhadap olahraga bulutangkis semakin besar, hingga pada usia 12 tahun ia memutuskan untuk meninggalkan sekolah dan fokus pada bulutangkis. Langkah Ini membuat Liliyana terpaksa meninggalkan Manado dan hijrah ke Jakarta, karena menurut sang ayah, ia hanya akan bisa bersaing dan mencapai puncak jika bergabung dengan klub bulutangkis besar di Ibukota.

Hari-hari di asrama bagi Liliyana kecil yang manja menjadi ujian yang sangat sulit. Di rumah, apapun yang ia minta selalu dituruti, kini setiap hari ia harus berkutat dengan latihan berat sementara hatinya masih dilanda kegelisahan. Suasana baru yang asing, kendala bahasa dan kerinduan akan kampung halaman membuat putri dari pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis ini sempat merasa frustasi. Untungnya dukungan dari keluarga terus mengalir, bahkan hampir setiap hari Liliyana menelepon Sang Mama untuk sekedar melepas rindu.

Papa Benno Mama Olly

Jalan yang dilalui Liliyana memang tergolong berat, namun tekad dan semangat kuat membuatnya bisa melewati segala kesulitan. Atlet kelahiran Sulawesi Utara 28 tahun yang lalu ini kemudian menonjol sebagai spesialis ganda campuran, setelah pengalaman berlaga di Piala Uber dan Piala Sudirman, ia sukses meraih medali perak di Olimpiade Beijing 2008 dan medali emas di Sea Games 2011. Namanya semakin bersinar ketika pada akhirnya ia dan Tontowi berhasil menjuarai Turnamen bergengsi All England pada tahun 2012. Keduanya bahkan kembali mempertahankan gelar tersebut dalam dua tahun berikutnya : 2013 dan 2014. Beberapa media malah menyebut pasangan Liliyana – Tontowi sebagai ganda campuran tercerdas di dunia. Sungguh sebuah prestasi yang mengagumkan.

Keberhasilan Liliyana dalam kancah bulutangkis dunia tidak lepas dari dukungan penuh PB Djarum, klub tempat atlet dengan tinggi 168 cm ini bernaung. Baginya, PB Djarum lebih dari sekedar klub bulutangkis, tapi seperti keluarga. Perhatian dalam bentuk material maupun non-material selalu diberikan oleh PB Djarum untuk mendukung prestasi atlet-atletnya. Menurut Liliyana, atlet bulutangkis sekarang ini sudah menjadi profesi yang sangat menjanjikan.

"Saya yakin PB Djarum akan memperhatikan kesejahteraan atlet-atletnya, baik saat menjadi atlet maupun setelahnya. Untuk itu tidak perlu terlalu khawatir tentang masa depan atlet bulutangkis, karena baik fasilitas maupun bonus-bonus sudah pasti disiapkan oleh PB Djarum" Sifat manja dan tidak pernah mau mengalah yang dahulu dimiliki Liliyana kini menjelma menjadi sikap kompetitif yang sangat berguna di lapangan. Ketika mengalami kekalahan, maka ia akan segera bangkit dan bertekad membalas kekalahannya. Liliyana yang sekarang berbeda dari Liliyana yang dulu. Bulutangkis telah mengubahnya menjadi pribadi yang ramah, disiplin, sekaligus pantang menyerah. "Jadi atlet itu harus siap menang dan harus siap kalah, menang pun kita tidak boleh terlena karena ke depan masih banyak pertandingan yang lebih penting" ujar Liliyana serius. Siapa menyangka, juara All England tiga tahun berturut-turut di nomer ganda campuran ini dahulu hanyalah seorang anak mama yang manja?