Inspiring Story
Home > Berita > Inspiring Story > Ivana Lie : “Bulutangkis, Jalan Keluar dari Kemiskinan”
10 April 2016
Ivana Lie : “Bulutangkis, Jalan Keluar dari Kemiskinan”
 
 

Audisi Umum PB Djarum di Purwokerto berakhir, Senin (28/03). Ivana Lie, salah seorang anggota tim pemandu bakat, menilai postif animo atlet Purwokerto. Audisi di kota ini mencetak sebuah rekor tersendiri dari segi jumlah peserta yang diikuti sebanyak 669 atlet. Jumlah peserta audisi Purwokerto merupakan jumlah paling banyak, selain di kota Kudus.

Setelah tiga hari melakukan pengamatan, ia menilai peserta-peserta dari kelompok U13, banyak pemain yang berpotensi. Namun ia juga agak prihatin karena peserta dari sektor putri, masih belum sebanyak seperti sektor putra. Bila sumber bibitnya sedikit maka seperti segitiga, kaki-kaki keatasnya tidak selebar di bagian putra. Ia menilai, harus ada program-program khusus untuk putri dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah.

Ia juga meminta atlet putri Indonesia dapat mengambil inspirasi dari pemain Jepang, Nozomi Okuhara yang baru saja menjadi juara tunggal putri All England.

“Postur dan teknik Nozomi hampir sama dengan rata-rata pemain Indonesia, yang berbeda adalah kegigihan dan endurance,” ujar Ivana Lie yang bergabung dalam tim pemandu bakat karena kecintaannya kepada bulutangkis.

Mengenal Ivana Lie

Ivana Lie merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara pasangan Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi. Legenda bulutangkis putri Indonesia kelahiran Bandung, 7 Maret 1960 ini, awalnya bermain bulutangkis mengikuti kakak-kakaknya.

“Dulu, anak-anak kecil, dimana-mana main bulutangkis. Jadi saya juga ikut bermain tanpa pelatihan. Malah mainnya menggunakan papan, piring atau sendal karena gak punya raket sendiri. Kalau pun mau pakai raket satu-satunya di keluarga, ketika sedang tidak digunakan kakak-kakaknya,” kenang Ivana Lie.

Ivana Lie berasal dari keluarga yang miskin. Ia sering makan dengan istilah “mutih” atau hanya nasi tanpa sayur. Bahkan untuk iuran sekolah saja, ia sering menunggak.

Suatu hari, ketika kelas 6 SD,  ia dipilih sebagai wakil sekolahnya ikut Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) cabang olahraga bulutangkis. Ia pun berlatih lebih serius menghadapi Porseni walaupun tanpa ada yang  melatih. Hasilnya ia mampu menjadi juara.

Atas prestasinya, pihak sekolah memberikan hadiah berupa keringanan iuran sekolah.  Ia disamakan dengan anak-anak guru yang bayarannya lebih ringan.

“Hadiah itu menimbulkan motivasi kepada saya. Ternyata, kalau juara bisa membantu orang tua,” ujar Ivana Lie.

Sejak itu, ia bertekad untuk menjadi pemain bulutangkis. Ia kemudian menabung setiap kali punya uang, sampai mambu beli raket sendiri.

Saat usia 13 tahun, klub Mutiara Bandung,  membuka tempat berlatih bulutangkis di dekat rumahnya. Ia ikut latihan di klub tersebut. Tetapi karena harus membayar, ia bisa ikut latihan kalau punya uang saja. Bila sedang tidak punya uang, ia istirahat latihan.

Pihak klub memperhatikan dirinya yang selalu bersemangat saat latihan. Ketika pihak klub mengetahui bahwa ia sering tidak latihan karena tidak ada biaya, maka kemudian ia mendapat bantuan dari klub.

“Saya melakukan latihan yang sangat berat. Bulutangkis jalan keluar dari kemiskinan. Motivasi itu membuat saya selalu resah, untuk selalu harus lebih baik lagi. Saya selalu menambah sendiri latihan. Saya selalu merasa kurang. Bahkan ketika mau tidur, pikiran terhadap bulutangkis jalan terus,” tutur Ivana Lie

Setelah rutin latihan di klub selama 3 tahun, ia panggil ke Pelatnas lewat ajang pencarian bakat. Ia menjadi Pelatnas di umur 16 tahun atau sekitar akhir tahun 1976. Berbagai prestasi internasional yang dicetak sepanjang karirnya, setelah bergabung menjadi pemain nasional. Tahun 1979, ia berhasil menjadi juara tunggal putri Denmark Open dan meraih medali emas SEA Games. Ajang Kejuaraan dunia 1980 di Jakarta, merupakan salah satu kenangan paling berkesan, meskipun ia tampil sebagai runner up.

“Tampil di Istora, di depan publik sendiri merupakan sesuatu yang berbeda. Aura dukungan penonton terasa banget. Apalagi disaksikan oleh sekitar 10 ribu penonton,” tambah Ivana Lie.

Ivana Lie merasakan hal yang sama setiap kali bertanding di ajang Indonesia Open. Ia adalah pemain dengan gelar paling lengkap di Indonesia Open, karena mampu juara di tiga sektor. Tahun 1983, ia menjadi juara tunggal putri dan ganda campuran bersama Christian Hadinata. Gelar juara ganda campuran dipertahankan tahun berikutnya dengan pasangan yang sama. Ia melengkapinya dengan gelar ganda putri bersama Verawaty Fajrin (1986) dan Rosiana Tendian (1987).

Kenangan lain yang paling manis untuk diingat, ketika menjadi juara ganda putri China Open tahun 1986. Kala itu, ia bersama Verawaty Fajrin mampu mengalahkan beberapa pasangan kuat tuan rumah. Kenangan lain yang berkesan ketika merebut medali emas Asian Games tahun 1982 bersama Christian Hadinata. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak pernah latihan bareng bersama Christian setiap kali turun ke suatu kejuaraan.

“Walaupun tidak pernah latihan bareng tetapi bisa kompak. Saya ini pengagum Christian, jadi saya menikmati sekali cara dia main. Ketika jadi pasangan, saya sudah tahu harus seperti apa. Jadi ada chemestry tersendiri,” ungkap Ivana Lie.

Diluar arena bulutangkis, ia sempat mempunyai masalah tersendiri. Orang tuanya merupakan imigran dari China, sehingga ia tidak memiliki kewarganegaraan. Bertahun-tahun keluar negeri tanpa pasport walaupun mewakili Indonesia. Ia diakui sebagai warga negara Indonesia pada akhir tahun 1982. Itupun karena ia berbicara langsung dengan Presiden Indonesia saat itu, Soeharto.

Kini, Ivana Lie sudah menikmati buah perjuangannya dari bulutangkis. Namun ia tetap mendedikasikan waktunya untuk cabang olahraga yang dicintainya. Salah satunya dengan menjadi anggota tim pemandu bakat Audisi Umum PB Djarum 2016 ini. (HK)