Inspiring Story
Home > Berita > Inspiring Story > Perjalanan Berliku Menuju Medali Perunggu Olimpiade
13 April 2016
Perjalanan Berliku Menuju Medali Perunggu Olimpiade
 
 

Nama Maria Kristin Yulianti sontak menjadi perbincangan usai Olimpiade Beijing 2008 silam. Maria pulang membawa medali perunggu. Ia menjadi tunggal putri Indonesia ketiga yang sanggup memboyong medali di pesta olahraga terbesar dunia itu. Datang sebagai pemain yang sama sekali tak diunggulkan, Maria justru bisa merangsek ke babak semifinal sebelum akhirnya harus mengakui keunggulan putri Tiongkok, Zhang Ning dengan 15-21 dan 15-21.

Pertaruhan belum berakhir di Beijing University of Techonology Gymnasium itu, Maria masih harus menghadapi pertandingan terakhir. Perebutan medali perunggu Olimpiade mempertemukannya dengan Lu Lan, tunggal putri Tiongkok yang tentu memiliki ambisi untuk menyapu bersih medali setelah di final mereka mengirimkan Zhang Nin dan Xie Xingfang.

“Saat pemanasan sebelum pertandingan, dikasih tahu sama Koh Wawan (Hendrawan, pelatih tunggal putri – red) ini penentuan Maria, kamu tinggal pilih saja, mau menang atau nggak tetap kamu semifinal di Olympic. Bedanya, kamu mau orang sekedar tau kamu waktu itu semifinal di Olympiade, atau kamu akan terus dikenang sebagai peraih medali perunggunya. Jadi pas main pun, mikirnya, aku pengen dikenal orang terus, diinget orang terus. Ini jadi peraih medali perunggu, setelah Ci Susy (Susy Susanti – Red) dan Ci Mia (Mia Audina – red), belum ada lagi,” ujar Maria.

Di sisi lain, Maria pun menuturkan bahwa apa yang ia catatkan di buku sejarah bulutangkis Indonesia ini sebagai salah satu tanda terima kasihnya kepada sang pelatih, Hendrawan yang sudah mendapinginya sejak 2004.

Namun, perjuangan Maria tak bermula di 2002, dimana di tahun itu Maria berhasil bergabung bersama Pelatnas. Karir Maria dimulai saat atlet yang lahir di Tuban, 25 Juni 1985 mulai mencintai bulutangkis sejak berusia enam tahun. Sang ayahlah, Yuli Purnomo yang menjadi pelatih bulutangkis pertamanya.

Barulah menginjak kelas empat Sekolah Dasar (SD) Maria bergabung bersama salah satu klub disekitar Kudus. “Dulu prosesnya sama seperti sekarang. Waktu itu saya berlatih di salau satu klub binaannya PB Djarum, tetapi dipantau terus. Tetapi saya tidak terpilih untuk bergabung bersama PB Djarum waktu itu,” ujarnya putri sulung pasangan Yuli dan Herbianti ini.

Usai tak terpilih, Maria pun kembali menguji kemampuan untuk bergabung bersama PB Djarum di Surabaya, kala itu pembinaan PB Djarum belum terpusat di Kudus seperti saat ini. Lagi-lagi, Maria harus menerima penolakan. “Dulu saya juga gagal masuk Djarum, karena waktu itu disebutnya masih terlalu kecil. Tetapi setelah tahu belakangan, waktu itu alasan utamanya karena postur saya kecil. Dan akhirnya waktu itu hanya satu atau beberapa yang diterima,” kenangnya.

Namun, Maria kecil tak menyerah. Ia terus berlatih bulutangkis. Kali ini, pilihannya pindah ke klub di Jember. Disanalah ia berhasil selama tiga tahun, 1995 – 1998. “Waktu di klub itu sepertinya klubnya mulai tidak stabil, karena atletnya semakin berkurang. Sampai akhirnya papa lihat iklan di koran kalau Djarum ada audisi seperti sekarang. Prosesnya juga mirip, saya harus ikut pertandingan sampai karantina, baru setelah saya bisa bergabung. Meskipun saat itu kami tidak memberitahu klub kalau saya akan ikut audisi, yang akhirnya saya pun tidak punya surat pindah dan harus tidak bermain satu tahun,” paparnya.

Perjalannya tak lantas mulus setelah bergabung bersama PB Djarum. Maria bahkan sempat diberikan teguran dan sempat akan segera terdegradasi dari klub yang kini bermarkas di GOR Djarum, Jati – Kudus ini. Maria bercerita kalau dirinya bukanlah atlet berprestasi mentereng saat masih remaja. Ia kerap menjadi first rounder, alias gagal dibabak pertama. Sering pulang sebagai rombongan pertama yang kembali ke klub, tetapi kala itu, sang pelatih, Anjib Kurniawan yang hingga saat ini masih melatih di PB Djarum, meminta agar Maria diberikan kesempatan untuk masih terus berlatih di PB Djarum.

“Sempat mau dikirim pulang juga, tetapi akhirnya saya bisa runner up di Kejurnas (Kejuaraan Nasional) waktu itu saya masih remaja akhir (16 tahun),” ujar sulung tiga bersaudara ini.

Dengan hasil Kejurnas itulah, Maria akhirnya bisa mengikuti Seleksi Nasional (Seleknas) sebagai tahap pertama untuk bisa bergabung bersama Pelatnas pada tahun 2001. Lagi-lagi, Maria harus akrab dengan kata tidak. Karena kala itu, Maria tak terpilih menjadi tunggal putri Pelatnas. Ia harus menunggu satu tahun untuk akhirnya bisa bergabung bersama Pelatnas.

Terpaan Maria pun tak lantas berhenti disana. Selama di Cipayung, Maria bahkan sempat diberikan surat teguran. Ia tak akan bisa lagi menjadi atlet Pelatnas jika ia tak kunjung berprestasi. Di sisi lain, Maria pun menghadapi masalah lain. Ia tak bisa menunjukkan kemampuannya diatas lapangan bulutangkis, karena dalam enam bulan pertama di tahun itu, Maria tak diikutkan bertanding di turnamen.

“Keputusan ini cukup aneh. Bagaimana saya bisa menunjukkan hasil latihan saya, jika saya tidak diberikan kesempatan bertanding?”

Maria atau yang akrab di sapa Marsel ini pun bercerita bahwa diawal pencoretan namanya dari turnamen, ia kerap menangis. Tetapi setelah ia menerima yang kedua, ketiga, keempat dan pencoretan lainnya. Maria pun lebih bisa menerima hal ini. “Awal-awal sih suka nangis karena sudah persiapan tetapi seminggu sebelumnya dipanggil dan dikabari kalau tidak jadi diberangkatkan. Sekali, dua kali, tiga kali masih yang kadang ngga bisa terima, tetapi setelah itu ya sudahlah yang penting latihan, dibatalin atau nggak itu urusan belakang,” tuturnya.

Akhirnya Maria pun diberikan kesempatan untuk bertanding di turnamen nasional, dan dua turnamen International Challenge. Maria sukses menjawab tantangan itu dan menjadi juara di Singapore International Challenge dan Indonesia International Challenge 2005, padahal Maria sebelumnya sudah memperkuat tim Sudirman Indonesia di tahun 2003. “Aku terima saja. Ko wawannya kan bilang, aku kan pernah ikut sudirman 2003, kenapa harus ikut turnamen seperti sirkuit nasional, aku bilang sih ya ngga apa-apa daripada nganggur juga,”

Maria tak geram atas semua hal yang terjadi, di sisi lain, justru sepertinya cobaan ini semakin memperkuat mentalnya. Atas raihan dua gelar Challengenya, Maria pun akhirnya diberangkatkan untuk turnamen dengan level lebih tinggi dan masih terus menjadi tunggal Pelatnas.

Di tahun 2007, Maria pun kembali mencetak prestasi, ia sanggup meraih dua medali emas SEA Games untuk merah putih, satu dari tunggal putri, satu dari nomor beregu. Berlanjut kepada kejutan menggembirakan di ajang Piala Uber dan Djarum Indonesia Open Super Series 2008 silam. Maria berhasil membawa tim Piala Uber untuk melaju ke partai puncak, sementara di ajang DIOSS 2008, Maria berhasil tampil sebagai runner up usai  mengalahkan Zhang Ning di semifinal dan dipaksa mengakui keunggulan Zhu Lin di final.

“Saya sama sekali tidak menyangka bisa sampai final waktu itu, karena kemarin-kemarin itu sebenarnya main di Istora ga begitu suka. Main di Asia itu memang lebih susah, harus usaha lebih dibanding di eropa, ada faktor angin segala macem, ga pernah nyaman kalau main di situ. Ditambah lagi drawing saya bertemu dengan pemain-pemain yang belum pernah saya kalahkan, seperti Zhou Mi di perempat final dan Zhang Ning di semifinal,” kenangnya.

Usai penapmilan gemilangnya di Indonesia Open, Maria kemudian ditunjuk untuk menjadi wakil merah putih di Olimpiade Beijing. Dan apa yang ia perlihatkan di Istora, menjadi menjadi sinyal, bahwa Maria tak hanya akan menjadi pelengkap di Olimpiade.

Paska Olimpiade, nama Maria kembali tak muncul ke permukaan. Ia harus bergelut dengan cedera lutut yang memang sudah menghantuinya sejak 2005 silam. “Balik lagi, 2004, 2005 aku lebih mikirnya aku cedera, hanya kalau misalnya terus berfikir kalau saya cedera, setengah setengah semua. Aku pikir ya kalau memang aku  niat ya aku niatin, kalaupun misalnya nanti sudah tidak kuat dan mentok ya sudah, selesai. Tapi setidaknya aku udah usaha semakismal mungkin. Kalau latihan mulai sakit juga pasti berhenti, tetapi aku masih tetap mau maksain dan usaha, setelah Olympic itu mungkin karena 2004-2008 maksain terus, 2009 mulai ngedrop. Latihan misalnya dalam seminggu bisa berat terus, ada yang latihan sekali udah cukup, masih tetap bisa nahan, setelah olympic itu tiga hari udah ga bisa diapa-apain. Berat hari keempatnya ada aja yang sakit, udah mulai ngerasa tambah parah,”

“Saya sudah tidak siap untuk kembali merasakan sakit seperti dulu, jadi saya lebih baik berhenti,” pungkasnya bercerita mengenai cedera.

Cedera inilah yang memaksa Maria untuk meninggalkan Pelatnas di tahun 2011. Ia pun sempat melakukan terapi dan penyembuhan di PB Djarum. Beberapa kali Maria pun sempat kembali turun di pertandingan, tetapi Djarum Sirkuit Nasional (Djarum Sirnas) Surabaya, menjadi tempat terakhirnya bermain. Ia tak mau lagi harus merasakan sakit di lutut yang sudah menghantuinya dalam tujuh tahun terakhir.

Usai memutuskan untuk gantung raket. Maria pun sempat berfikir untuk benar-benar meninggalkan bulutangkis, menebus waktu yang ia gadaikan untuk bulutangkis di masa mudanya. Tetapi sepertinya Maria hingga saat ini belum bisa meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya. “Saya bilang, saya tidak mau main lagi. Saya mau pulang. Sudah bosan dengan bulutangkis, bosan lihat raket, lapangan, shuttlecock, capek juga kan. Tetapi PB Djarum masih menawarkan untuk mencoba menjadi pelatih. Barulah setelah kembali saya pikirkan, di rumah juga hanya menganggur. Dan akhirnya saya menjadi asisten Maria Elfira,” tuturnya.

Saat ini Maria Kristin Yulianti tercatat sebagai pelatih tunggal putri U13 di markas PB Djarum di GOR Djarum Jati, Kudus. Ia pun mengaku bahwa dunia barunya ini justru lebih melelahkan dibandingkan masa-masanya menjadi atlet.

“Kalau dibandingkan saya lebih memilih jadi atlet dari pada jadi pelatih. Kalau jadi atlet kan kita tinggal melakukan apa yang diminta pelatih, sementara menjadi pelatih, saya harus menyusun program untuk masing-masing atlet. Karena tiap atlet kan pun karakternya masing-masing, ditambah lagi kepribadian atlet juga kan berbeda. Bagaimana saya harus mendampingi mereka di lapangan, pokoknya lebih capek jadi pelatih,” pungkas Maria.

Salah satu atlet binaannya adalah Mutia Dita Ainul Baroroh yang lolos melalui Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis. Mutia berhasil menyabet gelar juara tunggal putri usia dini di USM Jaya Open bulan Desember 2015 lalu.

Kehidupan seorang Maria Kristin memang sepertinya tak bisa lepas dari bulutangkis. Saat ini, Maria pun aktif menjadi salah satu tim pencari bakat di Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis 2016. Ia bersama tim pemandu bakat PB Djarum mendatangi berbagai kota untuk mencari talenta-talenta bulutangkis tanah air. (RI)