Diluar Arena
Home > Berita > DILUAR ARENA > Faktor Cuaca Mempengaruhi
10 Februari 2011
Faktor Cuaca Mempengaruhi
 
 

Debby - Rijal“Dingin banget, Mbak, disini,” celoteh beberapa atlet merah-putih yang berpartisipasi di Korea Open Super Series Premier 2011 di Seoul Januari lalu kepada saya. Di antara mereka yang berkomentar senada tersebut adalah Debby Susanto, Tontowi Ahmad, Muhammad Rijal, Lilyana Natsir, dan Simon Santoso.

Cuaca di Seoul memang kurang bersahabat bagi atlet-atlet Indonesia yang terbiasa dengan udara tropis. Tahun ini musim dingin di Seoul menapaki puncaknya pada bulan Januari - saat turnamen bulutangkis internasional berhadiah terbesar tahun ini digelar– dan suhu udara sehari-sehari berkisar antara -7 sampai -15 derajat Celcius.

“Badan rasanya kaku, susah bergerak. Belum lagi rasanya ngap (sesak/susah bernafas) kedinginan. Tenggorokan rasanya kering banget,” tukas Lilyana yang sudah beberapa kali menapaki lapangan hijau di Seoul. “Beda rasanya dengan ngap kalau kepanasan.”

Tidak dapat dipungkiri jika faktor cuaca tersebut mempengaruhi performa atlet-atlet kita. Salah satu pemain ganda putra Pelatnas, Angga Pratama bahkan sempat mimisan saat bermain. Atlet tunggal putra Indonesia, Simon Santoso, pun juga mengalami cedera pada telapak kakinya yang mati rasa, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor suhu dingin walaupun ia berhasil melaju sampai ke semifinal.

Simon Santoso“Simon lebih tahan karena sudah belajar dari pengalaman pahit dua tahun lalu,” tukas I Gusti Made Oka, Team Manager Pelatnas di Korea Open Super Series Premier 2011 yang juga adalah Wakil Ketua Umum II PB PBSI. Dua tahun lalu Simon melaju ke semifinal Korea Open Super Series untuk bersua Peter Gade, namun ia harus mengundurkan diri karena jatuh sakit. “Karena itu ia [Simon] lebih antisipatif menjaga dirinya supaya tidak jatuh sakit lagi seperti waktu itu.”

Oka berkata bahwa ia akan mengangkat masalah kesehatan ini ke dokter yang khusus menangani atlet Pelatnas di Jakarta. “Supaya kita bisa mencari tahu cara mengantisipasi anak-anak kita ini supaya lebih siap menghadapi cuaca ekstrim seperti ini. Saya takutnya ada juga atlet kita yang sebenarnya terpengaruh cuaca, tetapi manifestasinya belum sampai terlihat oleh mata namun secara tidak sadar sebenarnya mempengaruhi permainan di lapangan,” terangnya.

Selama turnamen berlangsung, 25-30 Januari 2011, cuaca memang tergolong sangat ekstrim bagi mereka yang terbiasa hidup di negara tropis. Suhu udara berkisar antara -7 sampai -15 derajat Celcius, bersalju, dan di beberapa kawasan juga diterpa angin yang membuat kulit terasa mati rasa. Walaupun di dalam stadium telah dipasang penghangat, namun selangkah saja keluar dari pintu stadium bagian dalam, cuaca dingin sudah langsung menerpa, apalagi kalau berjalan keluar dari gedung stadium; rasa dinginnya langsung menampar kulit dan menusuk tulang yang tidak begitu terlindungi.

Walaupun demikian, saya tetap salut dengan para atlet kita yang tidak menyebutkan suhu dingin sebagai alasan terhentinya langkah mereka di turnamen tersebut. Mereka legawa mengatakan bahwa seharusnya mereka bisa bermain dengan lebih baik lagi atau lawan memang bermain lebih baik. Lilyana dan Taufik Hidayat pun bertukas dengan bijaksana, “Sebagai atlet memang seharusnya mampu mengatasi berbagai macam situasi, termasuk cuaca, lapangan, shuttlecock, makanan, dan sebagainya.” (DC)