Legenda hidup bulutangkis Indonesia, Christian Hadinata, kini 60 tahun, mengatakan, olahraga bulutangkis harus masuk dalam kurikulum sekolah, jika ingin keunggulan Indonesia di kancah internasional kembali diakui.
''Tidak cukup dengan bersandar kepada klub bulutangkis, yang hanya terfokus di Pulau Jawa. Kalau sekolah kan bisa menjangkau semua wilayah di Indonesia,'' kata Christian Hadinata kepada BBC di Jakarta. Christian Hadinata mengaku sedih setiap melihat sekolah-sekolah yang halamannya dipenuhi lapangan basket, dan bukan lapangan bulutangkis.
''Dari sini saja sudah terlihat, betapa bulutangkis belum dilihat sebagai olahraga pilihan,'' ungkapnya. Apabila program 'bulutangkis masuk sekolah' itu nantinya bisa direalisasikan, Christian yakin olahraga bulutangkis kelak tidak akan menjadi sekedar olahraga sambilan.
Fokus Jawa Dia juga yakin kurikulum bulutangkis itu akan memudahkan pemantauan terhadap anak-anak yang berbakat.
''Dan tidak sampai di situ, kita juga bisa membina atlit berbakat itu,'' tandasnya. Selama ini menurutnya, pembinaan bulutangkis masih bertumpu kepada pembinaan di klub-klub bulutangkis, yang cuma terfokus di Pulau Jawa.
''Padahal, ada banyak pemain yang mungkin berbakat di luar Jawa, yang kemudian tidak berkembang, karena orang tuanya mungkin tak mampu membawanya ke pulau Jawa,'' jelas Christian, yang menggantungkan raket sebagai pemain di tahun 80-an. Kehadiran program bulutangkis di sekolah menurut Christian, mendesak dilakukan, karena Indonesia sekarang kekurangan pemain berkualitas 'super'. Hal inilah yang mengakibatkan prestasi bulutangkis terus menurun.
''Setidaknya jika dibandingkan saat saya masih memegang raket di tahun 70-an,'' tandasnya. Penurunan prestasi itu, menurutnya, terlihat dari dominasi China terhadap supremasi Indonesia di turnamen seperti Thomas Cup, Uber Cup serta Piala Sudirman.
''Walaupun dari beberapa nomor, seperti ganda campuran dan ganda putra, kita masih cukup baik, tapi secara umum ada penurunan,'' kata Christian saat ditemui di Pelatnas Bulutangkis, Cipayung, Jakarta Timur.
Christian yang pernah menggondol juara ganda putra bersama Ade Chandra di turnamen All England 1972 dan 1973, menjelaskan, penurunan prestasi ini disebabkan ''Indonesia kekurangan pemain berkualitas super''. Menurutnya, dalam persaingan yang makin ketat sekarang ini, tidak cukup pemain berkualifikasi baik.
''Harus super baik,'' tandas Christian, yang kini dipercaya sebagai salah-seorang pengurus PB-PBSI.
Lelaki kelahiran Purwokerto, 11 Desember 1949 ini, menjelaskan, bakat yang melekat pada seorang pemain, tidaklah cukup untuk memenuhi kriteria super, seperti yang dia maksud. Menurutnya, seseorang bisa memenuhi super apabila memenuhi semua aspek yang dibutuhkan bagi seorang atlit bulutangkis.
''Selain bakat, dia harus kuat secara fisik, mentalnya, juga kemauannya dalam berlatih secara optimal,'' jelas Christian.
Diakuinya, sejauh ini dia belum menemukan figur pemain-pemain super yang pernah dilahirkan, seperti Susi Susanti, Mia Audina, atau pasangan Rexy Mainaki dan Ricky Ahmad Subagya.
''Di Pelatnas yang ada sekarang itu merupakan yang terbaik dari seluruh Indonesia. Tapi baik saja, nggak cukup,'' kata Christian, yang dulu dikenal sebagai pemain spesialis ganda ini.
Juara All England 1972-1973 Bersama pasangannya Ade Chandra, Christian Hadinata mengukir prestasi yang disebutnya 'mengesankan', yaitu meraih juara All England tahun 1972 pada ganda putra. Prestasi ini mereka ulang setahun kemudian.
''Saya masih ingat, saat itu saya bertanding dengan baju lengan panjang, dengan baju hangat yang saya pinjam seorang temannya,'' kisahnya.
Di kejuaraan yang sama di tahun 1979, Christian dan Imelda Gunawan kembali mengharumkan Indonesia, dengan menjuarai ganda campuran. Empat tahun kemudian, tahun 1983, bersama pasangannya Bobby Ertanto, mereka mengulang prestasi yang sama untuk ganda putra. Christian adalah pemain pertama yang meraih dua gelar juara dunia dalam waktu satu tahun. Tahun 1980, dia Juara Dunia ganda putra bersama pasangan Ade Chandra dan Juara Dunia ganda campuran bersama Imelda Wiguno. Kemenangan demi kemenangan juga dia torehkan pada turnamen seperti Asian Games, kejuaraan dunia, serta Asian Games. Pada tahun 1986 atau dalam usia 37 tahun, Christian menggantungkan raketnya.
Dia lantas beralih menjadi pelatih, dan mulai saat itulah dia 'mewariskan' ilmunya kepada anak didiknya, utamanya untuk ganda putra atau campuran. Salah satu anak didiknya yang antara lain bisa disebut berhasil adalah pasangan Ricky Ahmad Subagya serta Rexy Mainaky.
Hidup untuk bulutangkis Hidup Christian Hadinata lebih dari separohnya didedikasikan kepada olahraga bulutangkis, sejak dia terjun di kejuaraan nasional olahraga ini di tahun 1971. Hingga usianya menginjak 60 tahun, bulutangkis masih mengisi waktunya.
'Saya ini berhutang kepada bulutangkis Indonesia dan PBSI, sehingga saya harus melunasinya sampai saya tidak sanggup lagi,' ungkapnya, serius. Kini, walaupun dia tidak lagi memegang status pelatih nasional, Christian dipercaya duduk di kepengurusan PB-PBSI. Sebagian penghuni pelatnas dan sejumlah pelatih menggambarkan sosok Christian sebagai orang 'menyerahkan' hidupnya untuk dunia bulutangkis. Dia juga digambarkan sebagai pelatih yang berdisiplin, serius, dan telaten.
'Pak Christian sudah datang ke lokasi latihan, sebelum para pemain datang,' kata salah-seorang pemain muda, Maria Christi Yulianti.
(Sumber: BBCIndonesia.com)
Heyder Affan
Producer BBC Siaran Indonesia