Jika kita melihat sosok pemuda berbadan tegap duduk di tepi lapangan sambil memberikan instruksi kepada anak didiknya yang masih tergolong bocah tengah bermain di karpet hijau, bisa jadi itu adalah Engga Setiawan. Engga Setiawan memang kini menjadi pelatih di pemusatan latihan PB Djarum yang bermarkas di Kudus. Ia di percaya menjadi pelatih khusus untuk tunggal pemula putra. Engga selalu menyertakan diri mendampingi anak didiknya yang bertanding di lapangan. Terkadang teriakan mengingatkan anak didiknya atau meminta mereka bermain tenang menghiasi sisi lapangan.
Bagi pemain yang pernah menjadi bagian dari pemusatan latihan nasional (Pelatnas) melatih anak-anak justru banyak tantangannya. Begitu PB Djarum memintanya untuk melatih anak-anak, iapun segera menyanggupinya.
“Tantangannya banyak. Justru tugas saya berat di karenakan tanggung jawab besar buat menjadi dasar regenerasi PB Djarum nantinya,” tegas Engga.
Anak-anak memang nantinya akan menjadi cikal bakal munculnya pemain-pemain baru yang akan menjadi generasi berikutnya. Disinilah tugas Engga, memberikan pelatihan dasar bagi anak-anak. Enggapun mengibaratkan dirinya tengah membangun rumah. Agar rumah yang tengah ia bangun menjadi kokoh, maka pondasi yang ia bangun harus kuat terlebih dahulu.
“Ibarat membangun rumah,kan harus ada pondasi yg kuat dan kokoh. Kalau gak bagus pondasinya, bisa roboh rumahnya,” lanjut Engga.
Engga melihat apa yang anak-anak didiknya lakukan mirip seperti yang ia lakukan semasa anak-anak dulu. Hanya saja seiring perkembangan jaman, dengan makin canggihnya peradaban, perjuangan untuk berlatih semakin berat. Dulu, semasa ia kecil halangan untuk berlatih hanya dirinya sendiri. Kini seiring dengan perkembangan jaman halangan bertambah dari makin canggihnya tehnologi seperti gadget. Belum lagi dari gaya hidup yang berbeda dengan jaman semasa ia berlatih, hal-hal seperti ini jelas mempengaruhi fokus anak didiknya dalam berlatih.
Engga mengenal bulutangkis untuk pertama kalinya dari orang tuanya pada saat usianya baru menginjak 7 tahun. Ayahnya yang sering mengajaknya ke lapangan badminton. Sementara sang ayah asik bermain di tengah lapangan, Engga pun larut memainkan raket bulutangkis di sisi lapangan.
“Ayah yang mengenalkan saya ke bulutangkis. Ayah juga selalu mengajak saya latihan bulutangkis,” paparnya.
Sang ayah yang melihat keinginan anaknya untuk bermain bulutangkis begitu kuat, segera menyalurkannya dengan memasukkan Engga ke tempat pelatihan bulutangkis yang ada di Solo, tempat masa kecilnya di habiskan. Bakatnya semakin terlihat ketika ia mulai masuk sekolah menengah pertama. Segera pelatih dan orang tuanya mengajaknya untuk mengikuti audisi yang di lakukan di Kudus. Rupanya bakat yang ada di diri Engga di lirik oleh tim Audisi. Ia pun di panggil untuk bergabung dengan PB Djarum.
“Alhamdulillah. Sekali mengikuti audisi, langsung diterima,” ujarnya bangga.
Berbagai gelar juara Sirkuit Nasional (Sirnas) yang ia raih membuat dirinya berkesempatan untuk mengikuti seleksi nasional (seleknas). Adi Pratama, Ari Trisnanto, Pandu Dewantoro, Andre Marteen, Siswanto menjadi nama-nama pesaingnya waktu itu. Berbekal hasil seleknas ia bisa masuk kawah candra dimuka Cipayung.
“Perbedaannya dari program latihannya. Kita di Djarum kan basic. Jadi latihannya masih banyak variasi dan lebih banyak di tekankan ke detail-detail nya seperti kekurangan dan kelebihan setiap atlet soalnya masih tahap pengembangan juga karena masih muda. Kalau di Pelatnas sudah ke tahap pematangan dan pendewasaan,” jelasnya ketika ditanya perbedaan pelatihan antara di PB Djarum dengan Pelatnas.
Menjadi wakil Indonesia pada Kejuaraan Asia Yunior dan Kejuaraan Dunia Yunior tahun 2008 memberi kebanggaan tersendiri baginya.
“Kejuaraan Asia Yunior dan Kejuaraan dunia Yunior sangat berkesan buat saya. Karena saya menjadi wakil tim Indonesia dan bertanding melawan atlet-atlet muda terbaik dari negara-negara di dunia,” pungkasnya.
Dua tahun Engga menjadi bagian keluarga Pelatnas. Lepas dari Pelatnas ia pun sempat hijrah ke Kanada untuk melatih paruh waktu dan juga bermain di kompetisi lokal. Setelah 3 bulan menetap di Kanada, Engga harus kembali ke tanah air untuk mengurus administrasi yang di perlukan. Tetapi memang panggilan jiwa untuk selalu mengabdi kepada bumi pertiwi ternyata lebih besar. Ia akhirnya batal kembali ke Kanada dan memutuskan untuk mencurahkan waktunya menjadi pelatih di Kudus, tempat dimana ia pernah di latih. Good luck Engga. (AR)