Annisa Saufika atau yang akrab disapa Ica oleh rekan-rekannya, sudah lima minggu terakhir harus beristirahat menjalani terapi pemulihan cederanya. Ica mengalami cedera lutut kala turun membela USM Blibli di Djarum Superliga Badminton 2015 lalu di Bali akhir Januari lalu.
“Kegiatan saat ini masih rehab, latihan besi dan sepeda saja, terus satu minggu sekali kontrol ke rumah sakit, semoga keadaannya semakin membaik, saya pengen banget main,” ceritanya kepada pbjarum.org.
Fase ini bisa menjadi fase yang cukup berat bagi Ica. Turnamen bergengsi German Open dan All England batal ia ikuti. “Perasaan sedih, trauma ya ada. Tetapi saya harus bersabar,” lanjutnya.
Ternyata memang kisah perjalanan hidup Ica di dunia bulutangkis sudah berliku sejak ia turun dengan “tidak sengaja” ke arena tepok bulu. Ica kecil yang kala itu duduk di kelas lima SD, sigap mengacungkan tangan saat sang guru olah raga menanyakan siapa yang bisa bermain bulutangkis.
“Engga tau kenapa waktu guru nanya siapa yang bisa main bulutangkis saya langsung angkat tangan. Mungkin karena suka ikut ayah iseng-iseng main bulutangkis jadinya saya merasa bisa,” ceritanya.
Selang tiga hari, Ica pun langsung bisa menyabet gelar juara di Keluarahan tempat tinggalnya di Cirebon. Berangkat sebagai juara kelurahan, Ica pun meneruskan langkahnya, sayang di tingkat Kecamatan Harjamukti, Cirebon ia harus menjadi juara dua. Ini menjadi awal Ica mengarungi karirnya di dunia bulutangkis.
Usai “ketidak sengajaannya” itu, Ica pun mulai serius latihan bulutangkis di klub yang tak jauh dari rumahnya. Kembali turun di tingkat Kota, Ica harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya mampu menjadi juara dua dan tiga, belum bisa menjadi sang juara. “Lawan yang menang dari saya sudah mulai latihan sejak kelas satu SD,” lanjutnya.
Usai menyelesaikan sekolah dasar, Ica meneruskan sekolahnya ke sekolah berstandar internasional. Di sekolah inilah, Ica seakan menggali kemampuan atletiknya bahkan putri pertama dari pasangan Kuswanta dan Heryani ini tak hanya menjadi atlet bulutangkis, tetapi juga ia berkompetisi dalam lari dan lompat tinggi.
“Saat masuk sekolah ditanya bisa apa saja, lari saya lebih cepat dibanding yang lain. Jadinya waktu itu saya lari 1,600 meter sama lompat tinggi juga.”
Finis di urutan pertama lomba lari, atlet yang lahir tanggal 21 Juni 1993 itu berhasil menjadi juara di tempat kedua lompat tinggi. Sayang, ia harus mengundurkan diri dari cabang bulutangkis. Ia tak mampu bertanding karena saat ia berlari tanpa sepatu di lomba lari.
“Bulutangkisnya malah kalah WO, karena pas lari pelatih minta saya buka sepatu, nah pas mau finis kaki terkena pecahan kaca, tapi saya justru ngga ngerasa. Akhirnya papa pun marah-marah gara-gara ini,” lanjutnya lagi.
Tahun kedua, Ica pun turun di kejuaraan yang sama. Ia yang sudah mulai fokus ke bulutangkis, lantas hampir tak pernah berlatih berlari. Turnamen yang sama digelar, kejadian menarik pun kembali ia alami saat ia turun di lari 1,600 meter. Dimana ia sudah “dicurangi” sejak start.
“Saat mulai lari, sudah ada yang injak dan sengaja menendang kaki. Tangan sama kaki sampai luka, tapi hebatnya saat itu, saya langsung bisa berdiri dan lari lagi! Soalnya saat itu ada papa, saya benar-benar terakhir, satu lap terakhir saya mulai sprint dan salip semuanya sampai akhirnya saya bisa finis kedua, bedanya tipis sama juara tiga, kalau sama juara satu terlalu jauh, saat dia finis saya masih harus berlari setengah putaran,” ujarnya antusias.
Seminggu kemudian ia harusnya turun di nomor bulutangkis, tetapi sayang, justru ia malah salah baca jadwal. “Kalau ingat hal ini sebenarnya ingin ketawa, waktu itu harusnya saya main bulutangkis seminggu kemudian, tapi malah kalah gara-gara saya salah baca jadwal. Sayang banget kan ngga pernah juara badminton,” lanjutnya sambil tertawa.
Tetapi akhirnya, Ica berhasil meraih gelar juara di turnamen wilayah. Sang ayah pun sepertinya yang diceritakannya, terlihat sangat bahagia. Dan jelang akhir kelas dua, Ica sempat memutuskan untuk berhenti dari bulutangkis dan mengejar cita-citanya untuk menjadi dokter
Tetapi jalan hidupnya berkata lain, di pertandingan terakhir di Cirebon, ia justru ditawari untuk bergabung dengan salah satu klub di Jawa Timur.
“Sebenarnya sejak kelas satu sempat mau masuk sebuah klub di Jakarta, tapi mama tidak mengizinkan. Akhirnya saat ditawari sebuah klub di Jawa Timur, akhirnya diizinkan. Harusnya saya berangkat berdua, tetapi teman saya tidak mendapat izin, jadinya hanya saya sendiri,” ceritanya.
Ia pun sempat mengutarakan keputusasaannya saat berada di provinsi paling timur pulau Jawa itu. Ia tak mampu meraih gelar juara satu pun, prestasi terbaiknya hanya sampai ke babak semifinal. Hal ini pun sempat membuatnya kembali ingin berhenti bermain bulutangkis.
“SMA kelas dua kembali saya diberi pilihan sama orang tua saya, kalau mau bulutangkis saya harus ikuti kata orang tua, atau kalau ingin bulutangkis sambil sekolah tidak apa-apa tetap di Jawa Timur.”
PB Djarum pun akhirnya mulai mencium bakat Ica usai melihat beberapa penampilannya di Djarum Sirkuit Nasional (Sirnas). Ia pun akhirnya memutuskan untuk pindah ke klub yang bermarkas di Kudus dan memiliki pusat latihan ganda di Jakarta ini.
Lagi-lagi, jalannya tak semulus yang ia harapkan. Ia tak mendapatkan surat pindah dari klub lamanya, sesuai dengan peraturan, Ica pun akhirnya harus mengalami “skorsing” tidak boleh bermain selama 15 bulan. “Saat surat keluar tidak dikeluarkan klub dan saya tidak bertanding satu tahun lebih, itu ujiannya benar-benar berat. Saya hanya berlatih dan berlatih, sempat beberapa tempat menyarankan saya untuk kuliah saja, tetapi saya selalu yakin pada diri saya sendiri kalau saya bisa, walaupun rasanya sangat tidak mungkin.”
Atlet tanpa pertandingan bagaikan menggantungkan asa di tempat hampa, dan akhirnya usai menjalani masa skorsing, Ica pun akhirnya bisa kembali ke lapangan. Pertandingan pertamanya pasca skorsing dijalani di hari ulang tahunnya ke 19. Arena Djarum Indonesia Open Super Series Premier 2012 menjadi debutnya kembali ke persaingan bulutangkis. Ia berpasangan dengan Lukhi Apri Nugroho berhasil masuk babak utama setelah melewati babak kualifikasi.
Ia pun kemudian turun di Sirnas bersama Edi Subaktiar di nomor ganda campuran dan langsung menyabet gelar juara. Sedangkan di nomor ganda putri, ia hanya bisa sampai babak perempat final. Ica melakukan “come back” dengan manis, berbagai turnamen di sektor ganda campuran berhasil ia jajaki sampai final, sampai akhirnya teman-temannya di PB Djarum mendapat panggilan untuk Seleksi Nasional (Seleknas). Ica hanya terdiam di asrama.
Kemudian, jalan hidup membawanya ke Cipayung, ia pun menyusul dipanggil ke Cipayung. “Saat teman-teman dipanggil Seleknas, saya hanya di asrama, itu benar-benar sedih. Apalagi saya belum pernah ikut AJC (Kejuaraan Asia Junior) atau WJC (Kejuaraan Dunia Junior), apa mungkin saya tidak dipercaya. Tetapi saat pengumuman, saya melihat ada nama saya disana. Saya menganggap ini sebagai buah kesabaran saya bersabar selama satu tahun lebih, ini jadi salah satu hal tergila dalam hidup saya.”
Kini Ica menjalani hari-harinya dengan berlatih sesuai dengan keadaan lututnya dan fokus untuk pemulihan lututnya. Ia masih memiliki harapan untuk bisa kembali mengukir prestasi di arena bulutangkis dunia.
“Harapannya? Ingin jadi the next Butet, saya ingin sekali sepertinya. Prestasinya lengkap,” ucapnya mantap.
Berbagai rintangan sudah ia hadapi di usianya yang belum genap 22 tahun. Semoga rintangan cedera ini hanya akan menjadi batu loncatan bagi Ica untuk bisa melompat lebih tinggi.
Rise and Shine Ca, Lekas Sembuh! Kami menantimu untuk kembali ke lapangan!